Sponsor

Kamis, 12 Maret 2009

Stop Membuang Makanan Sisa..

hayooo ... jangan pada buang2 makanan ya ...

Jakarta, detikFood - Saya sedikit tersedak saat menghirup kopi Bali Kintamani sambil membaca koran pagi. Demo menolak kenaikan harga BBM marak dimana-mana. Jumlah rakyat miskin kita bakal mencapai 15 juta lebih! Tapi kita belum tergolong negara miskin (kata pak Wapres), lha iki piye?

Bicara soal harga BBM pastilah ujungnya urusan perut. Harga kebutuhan hidup bakal ikut naik (ini sudah terbukti selama 63 tahun negara ini merdeka). Minggu pagi yang lalu saya menikmati brunch di warung gudeg langganan saya. Sekali lagi saya njondil (pinjam istilah mbak Ike), kaget kayak kesetrum saat melihat piring yang ditinggal orang di sebelah saya.

Nasi di piring masih tersisa setengah, telur gudeg yang cokelat masih 3/4 butir ditambah sedikit gudeg dan sambal goreng krecek. Saya jadi menebak-nebak, apa orang tadi nggak doyan gudeg (lha kok pesen gudeg) atau sedang kehilangan selera makan, tiba-tiba kenyang. Ya, hari gini saat semua orang 'menjerit' dengan kenaikan harga, kok masih ada orang yang dengan santai 'membuang-buang' nasi ya?

Dalam bahasa Inggris 'sisa makanan' disebut 'left over'. Dalam bahasa Indonesia ada dua istilah, 'makanan sisa'- makanan yang disajikan dan tidak habis disantap, dan 'sisa makanan'- makanan yang tersisa di piring karena tidak dimakan habis. Apapun pengertian istilah tersebut pada prinsipnya selalu ada yang tersisa.

Ibu saya termasuk yang anti makanan sisa karena itu selalu saja beliau menyulap lauk yang tak habis dimakan jadi lauk lain (opor ayam jadi ayam goreng atau isi lemper). Saat makan di restoran (kelas bintang kecil sampai bintang lima) selalu saja saya melihat kelakuan orang-orang yang seenak hati membiarkan makanan yang dipesan tersisa berlimpah di meja (mungkin karena sudah kekenyangan!).

Di sebuah resto iga panggang Amerika, selalu disediakan 'doggie bag' untuk membawa pulang sisa iga panggang untuk si gukguk di rumah (padahal lebih sering disantap tuannya lagi). Kebiasaan ini sebenarnya bisa ditiru oleh restoran-restoran dengan menyediakan kemasan untuk makanan sisa. Jika mau lebih ekstrem, mengenakan denda sejumlah uang untuk makanan yang tak habis dimakan (seperti beberapa resto AYCE).

Tanpa turun ke jalan membawa spanduk, memprotes kenaikan harga BBM rasanya banyak hal bisa dilakukan. Setiap makan di luar saya selalu berusaha mengontrol emosi, terutama kalau sedang lapar dan kalap memesan makanan. Karena kapasitas perut saya hanya mampu menampung 3-4 sendok nasi, maka saya selalu 'sharing' nasi dengan anak saya.

Pesanan laukpun bisa dilakukan bertahap, pesan 2-3 macam dulu, kalau kurang barulah pesan lagi. Dengan cara ini makanan yang dipesan akan habis termakan. Kalau sampai berlebih, terutama lauk, tanpa segan saya minta untuk dibungkus dibawa pulang.Meskipun saya tak punya data tetapi bisa dibayangkan jika ratusan restoran di Jakarta ini tiap hari harus membuang ratusan kilogram sisa makanan yang tak habis dimakan tamu. Bukan hanya pemborosan tetapi juga menimbulkan masalah soal penanganan sampah.

Di Inggris makanan sisa restoran sudah mulai didaur ulang menjadi kompos cair dan dipakai untuk pertanian. Karena belum ada penanganan serius maka ada baiknya kita mulai meninggalkan kebiasaan membuat 'sisa makanan'.

Di rumahpun urusan logistik bisa lebih diatur. Dulu saya sering membiarkan para asisten menentukan jumlah nasi yang akan dimasak. Tapi sejak beberapa bulan ini saya selalu meminta konfirmasi dari mereka, berapa orang yang akan makan siang dan makan malam di rumah. Dengan cara ini tiap pagi di rice cooker tidak ada sisa nasi dan kami selalu makan nasi yang baru ditanak tiap kali makan. Urusan laukpun sudah saya perketat, jumlah tahu tempe, telur dan ayam harus pas dengan jumlah yang makan.

Meskipun rada ngedumel akhirnya para asisten pun mengikuti aturan. Karena kalau dipikir, lauk dan nasi sisa juga memboroskan energi karena perlu dipanaskan kembali yang berarti ada pemakaian BBM. Hal yang sama yang lakukan jika ada tamu akan mampir ke rumah. Tanpa segan saya tanya apakah mau makan di rumah, sekaligus saya tanya lauk kegemaranya. Hasilnya, suguhan makan pun disantap habis oleh tamu. Bayangkan saja kalau semua ibu rumahtangga mulai melakukan strategi penghematan dengan cermat pastilah akan lebih banyak bahan makanan dan energi yang bisa dihemat.

Penghematan kecil ini bisa melatih kita untuk kembali menghargai makanan. Ada benarnya nasehat nenek dulu bahwa kita harus menghormati Dewi Sri atau makan harus habis (kalau tidak habis ayam akan mati!). Meskipun terasa tak masuk akal tetapi pesan moralnya sudah mulai terbukti. Harga beras dan kebutuhan lain terus naik dan kalau tak berhemat dan cermat bisa-bisa bukan saja ayam yang mati tetapi yang memelihara ayam juga ikut mati! (dev/Odi)

Tidak ada komentar: